Praktek Licik Bisnis Karya Seni


Goreng-menggoreng tak hanya di lantai bursa saja (saham) tapi juga di balai lelang (lukisan). Para seniman muda menjadi “target” praktek mafia bisnis ini.
Puluhan mobil tampak terparkir rapi di halaman sebuah balai lelang di kawasan Jakarta Selatan. Hari sudah beranjak siang ketika para pemilik kendaraan tersebut memasuki pintu utama gedung bercat putih itu. Meski rata-rata mengenakan baju kasual, namun gaya orang berkantong tebal tetap saja tersirat dari mereka.
Yang laki-laki menenteng tas kulit yang dicanglongkan di pundaknya sembari menyelipkan pipa rokok di mulutnya, sementara yang perempuan, beberapa di antaranya yang mengenakan  longdress sebatas mata kaki, berkacamata hitam, sembari menyelipkan dompet berukuran agak besar di ketiaknya.
Siang itu, balai lelang tersebut tengah mengadakan lelang beberapa karya lukisan. Karya siapa gerangan yang akan dilelang? Beberapa di antaranya ada hasil karya para maestro seni rupa seperti Basuki Abdullah dan Affandi. Namun ada juga karya beberapa pelukis yang tak dikenal publik.
Jarum jam dinding di ruang lelang menunjuk pada angka 10. Petugas balai lelang masih terlihat sibuk mempersiapkan acara. Beberapa menit kemudian, pemandu lelang tampil di depan dan menyampaikan pengumuman bahwa acara lelang segara dimulai. Puluhan orang yang hadir duduk di kursi deret di ruang utama lelang. Mereka adalah para calon pembeli lukisan yang akan dilelang.
Suasana sedikit hening saat pemandu lelang membacakan aturan main lelang. Begitu palu diketuk pemandu lelang, suasana berubah ramai. Tawar-menawar dengan harga lebih tinggi mencuat silih berganti. Hanya dalam hitungan tak lebih dari satu jam dua lukisan para maestro sudah laku terjual dengan harga ratusan juta rupiah. 
Berikutnya, pemandu lelang menawarkan sebuah lukisan berukuran 2 x 1,5 m. Nama pelukisanya tak  begitu dikenal. Berbeda ketika orang menyebut nama Affandi atau Basuki Abdullah yang langsung akrab di telinga. Tapi siapa nyana, lukisan karya pelukis yang satu ini justru membuat ruang lelang gegap gempita.
Setidaknya ada tujuh orang calon pembeli secara bergantian menawar (dengan semangat) dengan harga lebih tinggi. Akhirnya karya lukis itu terjual dengan nilai Rp 250 juta. Nah, “pemenangnya”adalah perempuan berkacamata hitam dengan tas kecil di tangannya. Ia tampak puas dengan kemenangannya dan langsung mendapat ucapan selamat dari sang pemandu lelang serta beberapa peserta lelang lainnya.
Di pojok ruang lelang, beberapa orang tampak saling berbisik begitu lukisan tadi terjual dengan angka Rp 250 juta. Dari penampilannya, mereka adalah para seniman, tapi bukan pelukis dari karya yang dilelangkan hari itu. “Wah, ini benar-benar ‘digoreng’!” itulah ucapan yang eksekutif dengar saat mendekati.
“Digoreng”? Ya, yang baru saja terjadi di balai lelang itu adalah praktek mendongkrak harga sebuah lukisan 
sri warso
sampai pada angka yang tak masuk akal. Istilahnya, ya “digoreng” itu tadi.  Menurut Sri Warso Wahono, seniman senior, praktek seperti ini sudah lama terjadi di jagat seni rupa di Indonesia. Dengan “digoreng” melalui proses lelang, karya sebuah lukisan yang lazimnya dihargai Rp 15 juta, bisa melambung menjadi ratusan juta. “Ini bagian dari mafia bisnis yang dilakukan oleh para pedagang lukisan,” ujar Sri Warso kepada eksekutif.
Menurut Sri Warso, sebenarnya balai lelang tidaklah jahat. Lembaga ini hanya memetik komisi sekitar 30% dari harga lukisan yang terjual dalam lelang. Komisi ini dianggap wajar karena balai lelang juga perlu dana operasional. Tiga bulan sebelum lelang, balai biasanya menerbitkan katalog berisi beberapa karya lukisan yang akan dilelang. Katalog ini didistribusikan ke para kolektor atau pecinta seni. Adapun setiap seniman yang masuk katalog itu harus membayar ongkos “pasang iklannya” sekitar Rp 5 juta per orang.
Biaya yang dikeluarkan oleh peserta lelang ini akan tertutupi jika lukisannya laku terjual dalam lelang. Lantas bagaimana jika lukisannya tak laku jual? Sesuai aturan, peserta lelang harus membayar Rp 6 juta kepada balai lelang sebagai tanda kesertaannya. Dan, tentunya, itu dianggap sebagai kerugian bagi sang seniman.
Untuk menghindari kerugian ini, biasanya, seniman mencari partner yang bisa menjadi “bos” untuk membayari kebutuhan dana tadi. Orang yang dimaksud “bos” ini adalah pedagang lukisan. Nah, si “bos” inilah yang kemudian memainkan peran “menggoreng” karya seniman tersebut. Dialah yang kemudian menghimpun beberapa orang lain untuk menjadi bagian “tim”nya selama proses lelang berlangsung. Tugas tim ini adalah sebagai pembeli lukisan yang dilelang. Sang bos akan mengatur skenario kerja tim tadi.
“Begitu pemandu lelang mengetukkan palu dan menawarkan harga untuk lukisan yang dimaksud, orang-orang anggota tim tadi seolah-olah saling bersaing menyanggupi harga yang lebih tinggi,” papar Sri Warso.
Misalnya, pemandu lelang membuka dengan harga Rp 50 juta, orang  pertama dari tim tadi akan menawar Rp 60 juta. Selanjutnya, orang kedua dari tim itu akan menawar Rp 10 juta lebih tinggi dari penawar pertama. Begitu seterusnya tawar-menawar dilakukan bergantian oleh orang-orang dari tim yang sudah diskenariokan. Tim ini pula yang mengkondisikan agar suasana tawar-menawar jadi gegap gempita. Targetnya, agar calon pembeli lain di luar tim itu bisa terpancing untuk menawar dengan harga lebih tinggi.
Jika selama proses tawar menawar itu tiba-tiba ada kolektor atau pembeli sesungguhnya (orang di luar tim tadi) berani ikut menawar, maka orang-orang dalam tim akan berhenti melakukan penawaran. “Jika sudah demikian, berarti proses goreng menggoreng berhasil, karena sudah ada yang kena ‘patuk’, yaitu kolektor sungguhan yang membeli tadi,” ujar Sri Warso.
Bukan Artis, Tapi Artisan
Apa yang terjadi di balai lelang itu hanyalah permulaan saja. Proses “menggoreng” lain terjadi lagi di luar balai lelang. Biasanya, sebelum lelang dilakukan, si bos tadi sudah punya stok puluhan lukisan dari seniman yang karyanya sudah “digoreng” di balai lelang tadi. Dan hanya dia saja yang memiliki karya-karya dari seniman itu. “Si seniman sudah diikat perjanjian dengan bosnya itu,” kata Sri Warso yang menyebut para seniman yang karyanya “digoreng” ini sebagai artisan.
Setelah proses lelang itu selesai, biasanya sang bos akan mendekati pememang lelang. Dia akan membisiki kalau di rumahnya masih tersimpan puluhan lukisan yang lebih bagus dibanding yang dilelang dan dilukis oleh pelukis yang sama. Di sinilah proses menggoreng lanjutan terjadi. “Begitu pemenang tadi tertarik lagi dan membeli, berarti dia kena ‘patuk’ kedua kalinya,” tambah Sri Warso.
Berapa keuntungan yang ditangguk dari bisnis ini? Bisa bayangkan, si pelaku hanya membeli satu lukisan dari artisan tadi seharga tak lebih dari Rp 5 juta. Begitu sudah “digoreng” melalui proses lelang tadi, harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah per lukisan. Nah, si artisan itu, kata Sri Warso, tidak boleh tahu berapa lukisannya itu dijual karena memang itu sudah menjadi perjanjian. Melalui perjanjian itu, si artisan juga harus nurut dengan perintah pelaku mafia seni ini. Termasuk nurut kalau diminta bos tadi untuk berhenti melukis beberapa waktu lamanya.
Inilah yang mengakibatkan banyak seniman muda kemudian jatuh sakit. Malah ada yang  sakit jiwa benaran karena tak bisa berkarya lagi lantaran terikat perjanjian dengan pelaku mafia seni tadi. Sri Warso mencontohkan beberapa seniman muda di Yogyakarta yang ia kenal. Ada beberapa seniman yang tadinya “digoreng” kemudian jadi sinting karena telah dilepas atau diputus oleh sistem “goreng-menggoreng” tadi. “Bahkan ada yang bunuh diri karena sebelumnya dapat uang banyak, tiba-tiba nggak ada pemasukan sama sekali,” ujar Sri Warso melanjutkan.

“Pengkultusan” Soekarno
Sejak kapan sebenarnya praktek goreng menggoreng di jagat seni ini mulai terjadi di Indonesia? Banyak versi yang mengulasnya. Menurut seniman Chandra Johan, praktek ini sudah berlangsung sejak tahun 1990-an. Saat itu, di Indonesia sedang terjadi boom seni rupa, di mana para kolektor mulai mencari barang-barang seni old master. Terutama karya-karya seni dari seniman yang pernah dikoleksi Bung Karno, presiden RI pertama, karena mereka menganggap apa yang dikoleksi Sukarno pasti bermutu.

Di mata Chandra, “pengkultusan” Soekarno ini berdampak pada karya seni. Maka, saat itulah mulai terjadi peningkatan harga lukisan yang manakjubkan. Orang mulai mencari barang-barang peninggalan Sukarno. “Bahkan buku Di Bawah Bendera Revolusi, seingat saya, ditawarkan sampai harga puluhan juta per eksemplarnya. Semurah-murahnya Rp 5 juta per set,” ungkapnya.
Dari sinilah orang mulai cari-cari karya para maestro seni rupa seperti Le Man Fong, Lee Mayeur, Affandi, Hendra Gunawan, sehingga akhirnya diikuti berkembangnya praktek-praktek pemalsuan lukisan. “Saya sebut ini fase pertama praktek ‘goreng-menggoreng’. Fase ini berhubungan dengan pengkultusan dan ignorance, ketidaktahuan alias kegelapan wacana,” tambah Chandra.

Mengapa disebut kegelapan wacana? Karena para pemburu lukisan tak memiliki dasar-dasar pengetahuan tentang lukisan. Menurutnya, praktek seni seperti praktek perdukunan. Patronnya buku koleksi Sukarno, dan Sukarno dianggap kebenaran mutlak untuk segala hal, termasuk seni. Padahal guna memahami  seni modern, dasarnya pengetahuan. Bukan pengkultusan atau emosi yang tak terkendali.

Kondisi ini terjadi sampai berlangsungnya pameran lukisan sekitar 1998, diselenggarakan kolektor barang-barang seni yang seluruh isi pamerannya palsu semua. Dunia senirupa dibuat geger waktu itu.  Seniman yang mengaku pernah mencermati secara khusus praktek kotor ini juga mencontohkan praktek “goreng-menggoreng” lukisan yang terjadi pada tahun 2000-an di sebuah galeri. Pameran itu berhasil menjual hampir semua lukisan. Tetapi yang membeli “orang dalam” juga (si investor menanamkan uangnya ke pelukis) melalui orang-orang sekitar si investor itu tadi. 

Para pencinta seni yang mengetahui si pelukis “laku” kemudian mencari-cari karyanya. Dari situ, harga lukisan si pelukis yang tadinya “sekian” menjadi naik berkali lipat menjadi “berkian-kian”. “Ini permainan sederhana. Selain di galeri, di balai lelang juga praktek seperti ini sering terjadi. Jangan heran kalau akhirnya banyak seniman yang ‘dianakasuhi’ para cukong, untuk kemudian bisa diangkat setinggi-tingginya,” ungkap Chandra dengan nada kesal.
Yang memprihatinkan, mafia bisnis lukisan ini tak hanya terjadi di balai lelang atau galeri saja. Menurut Sri Warso, “penggorengan” karya seni juga terjadi di kampus perguruan tinggi ternama yang memiliki jurusan seni rupa. Ia mencontohkan, para mahasiswa ITB (Bandung) atau ASRI (Yogyakarta) yang lagi ujian akhir di kampusnya acap menjadi “target” para pedagang lukisan. Di luar ruang ujian sudah menunggu para pelaku mafia bisnis lukisan untuk memilih mana alumni kedua perguruan tingi itu yang bisa dijadikan artisan dan bisa “digoreng” karyanya. Pemilihan  kampus sebagai sourcing pelukis ini karena mereka bisa dibayar lebih murah oleh si pelaku.
“Begitu mahasiswa selesai ujian, pedagang seni akan bilang, ’Kamu lukis yang banyak tentang tema ini, ya. Nanti kamu saya bayar Rp 5 juta per lukisan’. Mahasiswa mana yang nggak tergiur tawaran seperti ini? Tapi itulah cara para pedagang seni,” ujar Sri Warso.
Maka tak perlu heran, banyak seniman  yang masih berstatus mahasiswa di Yogyakarta menjadi bagian dari praktek mafia ini. “Yang menyedihkan, beberapa dosen juga kadang ikut memberi rekomendasi pada karya mahasiswa yang karyanya itu akan digoreng. Tak lain agar dibayar sama pelaku mafia tadi. Istilahnya, kuratornya-lah,” tambahnya. (*)

**sumber tulisan : http://www.eksekutif.co.id



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Alat Menggambar

Krisis Kepercayaan Diri...